Rabu, 11 Januari 2012

RUANG SOSIAL



Dalam konteks pembangunan, Pembangunan nasional yang sesuai karena dijiwai oleh etika masa depan yakni pembangunan dalam istilah ruang sosial, development in terms of sosial space, yang sementara mengintegrasikan faktor bumi dan manusia, tidak mengabstrakkannya sama sekali. Maka ruang sosial menjadi modal sosial yang semakin penting dalam keseluruhan modal sosial yang diandalkan dalam proses pembangunan. Apalagi kita sedang berada di suatu momen historis di mana kemampuan bertindak, individual atau kolektif, menangani ruang cenderung meningkat. Ruang sosial itu bukanlah suatu substansi yang abstrak, tetapi suatu ruang hidup manusia yang konkret, diciptakan dalam konteks (pembangunan) suatu komunitas tertentu, lokal maupun nasional. Dalam dimensi objektif, material, kultural, dan spiritualnya, ruang sosial ini adalah produk transformasi alam melalui proses pikiran dan kerja manusia. Alam itu bisa berupa sungai, danau, daratan, pantai, lautan, hutan, dan lain-lain. Ruang sosial itu juga merupakan sebuah pementasan dari interaksi sosial dan direkayasa oleh penduduk dalam berbagai derajat intervensi/perubahan, dari mulai modifikasi yang terkecil (pembangunan gedung sekolah) yang dampaknya kecil saja pada lingkungan, modifikasi menengah (pembangunan kampus, waduk, kompleks industrial), sampai modifikasi terbesar (pembangunan kota, provinsi, pulau) yang pasti mengubah tata lingkungan (Yoesoef, 2007). Lebih jauh Yoesoef menyatakan, Secara filosofis pembangunan dalam arti ruang sosial ini diformulasikan sebagai suatu "gerakan komunitas" yang tak berkesudahan. Pembangunan seperti itu mengharuskan adanya partisipasi penduduk setempat dalam pilihan dan pendirian proyek di permukimannya. Kalau berupa waduk, misalnya, sejak perencanaan rakyat di sekitar sudah diajak bicara, mengenai tujuan, dampak dan lebih-lebih opportunity costs bagi mereka, berdasarkan pandangan tradisional, kearifan lokal, dan/atau filosofi etnis. Artinya, mereka tidak hanya dijadikan penonton yang pasif. Pengikutsertaan rakyat inilah yang kiranya disebut participatory democracy dan pembangunan disebut participatory development. Penduduk dengan buminya dibuat manunggal, dijadikan senasib dengan ruang alami di mana mereka berada dalam dan selama proses pembangunan.


Terkait dengan apa yang dikemukakan Daoed Joesoef tentang gugatannya terhadap pelaksanaan pembangunan maka seharusnya pembangunan terhadap masyarakat dikembangkan bertitik tolak dari refleksi masyarakat dari berbagai tantangan ekternalnya. Selanjutnya berbagai deformasi internal masyarakat yang telah mapan sesungguhnya akan lebih mapan sesuai dengan kemampuannya dikembangkan. Memontum ini semestinya menjadi titik tolak pelaksanaan pembangunan sebagai perubahan paradigma.
Melihat pengalaman pelaksanaan pembangunan di Indonesia, antara pemerintah yang bercorak struktur pembangunan (modern) dan masyarakat bercorak struktur tradisional, menurut hasil studi Tjondronegoro (1977:p.350-352) mengemukakan bahwa hasil studi yang menggunakan paradigma-lembaga memisahkan ke dua entitas tersebut dengan sejumlah karakteristik pembeda, dimana organisasi modern (sebagai hasil introduksi pihak atas desa) terlihat sangat terikat oleh ketundukaannya atas penguasa (power compliance), sedangkan lembaga tradisi oleh atas kebutuhan (need compliance). Dikatakan ada bidang retak yang membelah antara organisasi dan lembaga di pedesaan, sehingga di antara keduanya tercipta kekurangserasian dalam penjalinan fungsi, atau adanya keterbelahan moral dalam konteks kelembagaan pembangunan.
Ketidaksesuaian dalam hal “moral” antara pembangunan yang dilaksanakan oleh Negara dengan pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah pandangan pelaksanaan pembangunan yang dilihat dari perspektif keterkaitan antar entitas yang masing-masing tidak memiliki kekuatan yang sama, yakni antara masyarakat pedesaan dan Negara sebagai kekuatan social bentuk lainnya. Namun jika dilihat dari dimensi kultural apakah akan menghasilkan kesimpulan yang sama ?. Seperti diungkap Nygren (2007) yang melihat rekonstruksi pengetahuan lokal masyarakat San Juan-Nikaragua dikaitkan dengan system pengetahuan global. Ia mengemukakan bahwa dalam melihat system pengetahuan local tidak dapat hanya dibatasi pada system pengetahuan masyarakat pada batas lingkungannya saja, akan tetapi harus dilihat secara universal dan berhadapan dengan bermacam-macam pengetahuan di luarnya. Menurutnya system pengetahuan local bukanlah kambing hitam underdevelopment karena di dalmnya telah bernegosiasi dengan dunia luar.
Oleh karenanya “ruang sosial” dalam tulisan ini akan ditempatkan sebagai media yang mampu mengorganisasikan dua terminology pembangunan, yakni yang bersumber dari Pemerintah sebagai agen dan kekuatan-kekuatan internal masyarakat. Maksud ditempatkannya ruang sosial tersebut dalam konteks pelaksanaan pembangunan dimungkinkan bagi warga masyarakat mewujudkan cita-cita yang terkandung dalam pembangunan dalam tatanan yang terdefinisikan, baik secara sosial, teknologi, ekonomi, dan politik. Tentunya wujud dari pembangunan yang dapat terdefinikan oleh masyarakat adalah adanya pernyelesaian berbagai hambatan cultural secara sosial dalam bentuk dinamika perubahan struktural masyarakat dalam merespon tekanan pembangunan. Tekanan-tekanan struktural semacam ini akan melahirkan gerakan-gerakan positif budaya yang kemudian mengejawantah dalam perilaku ekonomi, sosial, teknologi dan politik.
Secara skematis “ruang sosial” yang berfungsi sebagai “panggung sosial” sebagai arena bertemunya berbagai aspirasi dari kedua belah pihak, yakni masyarakat sebagai konsumen penerima berbagai agenda pembangunan dengan Pemerintah yang membawa misi pembangunan dengan menggunakan latar berbeda. Di dalam ruang ini dimungkinkan terjadinya forum pertemuan bagi ke dua belah pihak untuk sama-sama melakukan kolaborasi terhadap kekuatan masing-masing dalam wujud instropeksi internal maupun eksternal. Bagi pemerintah, kewajiban membangun masyarakat demi perkembangan dalam arti pertumbuhan masyarakat untuk kemajuan Negara dapat dilaksanakan dalam agenda yang tidak memonopoli terhadap berbagai aneka “kebutuhan” masyarakat. Sering kebijakan pembangunan dari Pemerintah kepada rakyat mengalami berbagai resistensi dari pihak obyek penerima pembangunan dalam bentuk partisipasi yang rendah. Oleh karena bungkus pembangunan biasanya bercorak “organisasi” formal demi memudahkan pelaksanaannya. Sedangkan bagi masyarakat, memiliki kesempatan mengembangkan variasi kemampuan dalam bentuk dinamika struktur system sosialnya untuk mewadahi agenda pembangunan seperti yang diinginkan pihak Negara melalui berbagai upaya agenda sosial dalam kerangka komunikasi antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. 


source : http://ruangsosialpembangunan.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

no junk,no sara, no spam thankyou :)