Peradilan Sendal Jepit
Peradilan pidana
kita untuk kesekian kalinya mempertontonkan peradilan yang sangat
memilukan rasa keadilan. Dimulai dari kasus Mbok minah yang dituduh
mencuri kakao, kasus pencurian kapuk dll kasus yang menyayat, kini
peradilan dan penegakan hukum yang mengusik rasa keadilan terjadi lagi
dalam kasus pencurian sandal jepit oleh terdakwa AAL seorang anak kecil
yang terpaksa mengaku karena dipukuli oleh oknum Brimob yang mengaku
memilki sandal jepit lagi.
Dalam
kehidupan hukum yang terjadi di Indonesia dan dalam konteks normative
an sich, peradilan seperti ini bukanlah hal yang luar biasa, karena
memang hukum dibuat untuk menjaga ketertiban dan jaminan perlindungan
setiap orang terhadap gangguan-gangguan orang lain yang tidak berhak.
Hukum bertugas menjaga keseimbangan tersebut, tentu melalui alat
perlengkapan Negara yang biasa disebut aparatur penegak hukum. Aparat
penegak hukum bertugas menegakan hukum tersebut manakala terjadi
pelanggaran hukum.
Problemnya
adalah, dalam penegakan hokum pidana yang rata-rata masih menggunakan
pasal-pasal peninggalan colonial tentu saja diperlukan aparat penegak
hukum yang mengerti, memahami dan menghayati bunyi pasal-pasal tersebut
dalam konteks keindonesiaan, sebab kalau tidak, aparat penegak hukum
akan terjebak dalam pergulatan masalah keadilan. Keadilan adalah tujuan
utama dari penegak an hukum. Aparat penegak hukum dituntut untuk
mengerti bahwa pasal-pasal dalam KUHP tersebut dibuat dalam konteks dan
spirit penjajahan dan bertujuan menindas rakyat jajahan. Jadi polisi,
jaksa dan hakim harus benar-benar menjalankan norma hukum peninggalan
kolonial dalam konteks masa Indonesia merdeka.
Kasus
AAL atau kasus sandal jepit ini, apabila dilihat dari optic hukum
pidana materil yang sempit (KUHP), tentu saja paling tidak memenuhi
unsur pasal 362 KUHP tentang pencurian dan tidak ada yang salah dalam
proses penyidikannya. Instrument system peradilan pidana tentu saja
sudah boleh memulai prosesnya. Tanpa harus berfikir apakah
kasus AAL ini apabila diproses akan memenuhi rasa keadilan atau tidak,
polisi sebagai ujung tombak dari peradilan pidana semestinya harus sudah
berfikir, apakah penerapan pasal 362 KUHP dalam kasus AAL ini akan
mempunyai arti atau tidak? Kita bisa merujuknya kepada pasal V
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946.
Pasal
V UU NO 1 Thaun 1946 ini memberi batasan tentang penerapan pasal-pasal
hukum pidana baik yang ada dalam KUHP maupun di luar KUIHP. Apakah
mengajukan perkara pencurian sandal jepit ini akan membawa maslahat bagi
tersangka, Negara dan masyarakat? Dari sudut tersangka tentu saja
peradilan anak selalu membawa dampak yang negative sesederhana apapun
bentuk peradilan itu dilakukan. Dari aspek Negara, peradilan s andal
jepit ini akan membebani administrasi peradilan pidana, antara proses
dan tujuan yang hendak dicapai tidak seimbang dengan biaya yang harus
dikeluarkan. Jadi cost and benefitnya sama sekali tidak diperhitungkan
oleh aparat penegak hokum.
Dari
sudut pandang optic masyarakat, peradilan terhadap AAL ini dirasakan
sebagai sebuah bentuk penindasan Negara terhadap rakyat, karena rakyat
masih melihat kasus-kasus besar tidak pernah tersentuh oleh hokum,
sementara kasus kecil seperti sandal jepit ini Negara dengan serta merta
merespon nya dengan cara mengajukan ke peradilan pidana. Rakyat akan
memandang bahwa hukum hanya tajam kepada rakyat kecil tetapi hokum akan
tumpul manakala bersentuhan dengan rakyat yang mempunyai staus social,
politik dan ekonomi yang tinggi. Summum ius summa iniuria. Keadilan
tertinggi adalah ketidakadilan tertinggi.
Jargon
viat justitia roeat coelum, tegakan hukum walau langit akan runtuh,
rupanya diadopsi secara verbal oleh aparat penegak hukum. Padahal dalam
konteks penegakan hukum jargon ini harus dimaknai bahwa disana ada asas
praduga tak bersalah, asas persamaan di depan hukum, asas kemanfaatan
dan asas keadilan. Ada selective law enforcement dalam penegakan hukum
tetapi tidak boleh terjadi discriminative law enforcement. Jargon ini
dapat dipakai oleh aparat penegak hokum dalam menjalankan dan menegakan
hokum.
Walaupun
akhir dari peradilan sandal jepit dengan terdakwa AAL ini sudah ada
vonis yaitu menyatakan bahwa AAL bersalah dan dihukum dikembalikan
kepada orang tua untuk dibina, tetap saja peradilan sandal jepit ini
menyisakan persoalan yuridis dan psikologis. Persoalan yuridisnya adalah
kenapa vonis hakim menyatakan AAL bersalah mencuri sandal jepit milik
seorang oknum brimob, padahal di pengadilan pencurian terhadap sandal
jepit milik oknum brimob tersebut tidak terbukti, yang terbukti adalah
bahwa sandal jepit yang diambil AAL adalah milik orang lain. Vonis
tersebut terkesan karena ada pengaruh opini dari masyarakat dan hakim
berusaha menjaga rasa malu penyidik, sebuah peradilan yang tidak dikenal
dalam system hukum kita dan masyarakat akan menganggap bahwa peradilan
ini adalah peradilan bisik-bisik.
Peradilan
terhadap anak seyogyanya dipakai model restorative justice. Walaupun
secara formal peradilan anak kita belum memiliki model restorative
justice, hakim harus dapat memberi warna tersendiri dan berinisiatif
memakai model tersebut, para hakim tidak perlu takut bahwa model yang
dipakai tidak sesuai dengan hukum acara atau model peradilan kita yang
baku, sebagai seorang profesi yang mempunyai judicial discretion. Para
hakim bisa dengan leluasa mengembangkan model ini sebab tujuan utama
peradilan kita adalah menghasilkan vonis yang final dan definitive serta
membawa keadilan bagi masyarakat.
Bagi
atasan para hakim , seyogyanya dikembangkan sifat tut wuri handayani
dan menjaga independensi para hakim, jangan sampai hakim yang berfikiran
progessif dipanggil karena putusannya tidak lajim padahal hakim
tersebut berusaha menyelami rasa keadilan masyarakat. Budaya pemeriksaan
oleh Mahkamah Agung atau Komisi yudisial terhadap hakim-hakim yang
berani berfikri diluar kebiasaan normative jangan lagi dilakukan,
biarkan hakim menggali, mencari dan menemukan rasa keadilan itu dalam
masyarakat.
Ada
yang kurang memang dalam system peradilan kita ini. Tidak ada pedoman
atau peraturan yang bisa membatasi perkara macam apa yang boleh tidak
dilanjutkan ke pengadilan (kecuali delik aduan). Jadi kalau terjadi lagi
kasus seeperti pencurian sandal jepit ini, tentu saja polisi tidak
boleh meng SP 3 kasusnya karena secara formal barangkali sudah memenuhi
persyaratan. Akan tetapi bukankah mengajukan perkara seperti ini di
samping akan membebani administrasi peradilan pidana juga akan melukai
rasa keadilan masyarakat. Kita tidak boleh berfikir egois bahwa perkara
senacam itu tidak layak diajukan ke pengadilan tanpa memberi ruang
kepada polisi untuk menghentikan atau paling tidak membuat win-win
solution yang semuanya tidak ada yang dirugikan.
Secara
normative peradilan kita sudah diatur dalam suatu mekanisme system
peradilan pidana, akan tetapi kadang-kadang system itu membelenggu kita
manakala terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Dan
disini biasanya terjadi kegamangan dikalangan penegak hukum, sementara
masyarakat tidak mau atau belum mau berfikir tentang kesulitan penegak
hukum dalam menegakan hukum. Oleh karena itu memang doktrin hukum pidana
modern mutlak harus dikuasasi oleh aparat penegak hukum sehingga protes
atau ketidak puasan masyarakat terhadap jalannya proses peradialn
pidana akan semakin menurun. Peradilan pidana harus dijalankan dengan
penuh wibawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
no junk,no sara, no spam thankyou :)